Headlines News :
Home » » Kanjeng Syech Abdul Qodir Jailani dan Kuda Berbulu Emas

Kanjeng Syech Abdul Qodir Jailani dan Kuda Berbulu Emas


Singkat cerita pemuda ini memang sudah lama mendengar berita tentang Kanjeng Syech yang sangat terkenal itu. Dalam hati kecilnya dia ingin belajar pada beliau. Pemuda ini bernama Somad yang tinggal di sebuah desa kecil cukup jauh dari kediaman kanjeng syech.

“Ayah, ibu, saya mohon ijin untuk belajar kepada kanjeng syech”, kata pemuda ini berpamitan kepada kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya paham betul dengan tekad anak mereka ini karena sejak kecil dia memang cenderung kepada agama dan para tokoh-tokohnya. Dengan berbekal secukupnya dia berangkat. Pemuda ini berpenampilan sederhana karena demikian yang ia pahami tentang agama. Dia belum tahu persis dimana rumah kanjeng syech tapi dia yakin akan menemukan rumah sang guru karena syech ini terkenal dan mencari kediaman orang yang terkenal tidaklah sulit. Setelah bertanya beberapa kali ternyata rumah kanjeng syech tidak ditengah-tengah kota melainkan di pinggiran kota. Sampai di pertigaan masuk ke kampung si pemuda bingung dia harus lewat jalan yang mana. Dia bertanya pada penduduk setempat.

“Permisi ,pak, dimana arah kediaman kanjeng syech ?”

“Oh…anak ambil jalan yang kekanan nanti ada gang kecil anak belok kiri jangan lurus. Nah …nanti ada rumah itu rumah kanjeng syech”

“Terimakasih, pak, “ si pemuda segera ambil jalan ke kanan seperti yang ditunjukkan bapak itu.
“Waduh….lupa aku, itukan jalan belakang yang biasa aku lewati jalan menuju kandang kuda.. Kalau tamu seharusnya dari depan tidak dari belakang” kata bapak itu sambil celingukan mencari si pemuda tetapi si pemuda sudah tidak kelihatan. Ternyata bapak ini salah satu dari 3 orang pembantu kanjeng syech yang ditugaskan mengurusi kuda-kuda beliau. Ternyata benar, di ujung gang kecil itu banyak istal/kandang kuda. Si pemuda terkagum-kagum melihat kuda-kuda itu karena bulu dan buntut kuda itu berwarna keemasan. Belum pernah dia melihat bulu kuda berwarna emas seperti itu. Kuda itu tinggi besar,gagah sekali. Dia terus berjalan memperhatikan kandang kuda. Luar biasa ,alas kandang untuk tempat tidur kuda digelar karpet dan kandangnya dari kayu pilihan yang diukir. Kandang itu bersih sekali, tidak tampak kotoran berceceran. “Wah….wah…wah….luar biasa , ini kuda siapa,ya ?” tanya pemuda didalam hati. Dia terus berjalan, sekarang dia melewati kamar-kamar yang berjejer. Tampak bagus dan rapi. Di dalam salah satu kamar dia melihat banyak barang-barang seni yang mahal-mahal . Disamping kamar yang berjejer itu ada ruangan besar seperti aula. Bangunan aula itu megah sekali. Tampak jelas bahwa bahan dasar yang dipakai untuk membangun aula ini tidak sembarangan dan pasti dari bahan-bahan pilihan. Dia melihat disitu banyak orang berkumpul. Sepertinya mereka mengenakan seragam dan seragam mereka cukup baik dari warna maupun bahannya. Tampak beberapa orang mengawasi si pemuda dan jika si pemuda menatap mereka, orang-orang itu mengangguk sambil tersenyum. Si pemuda kelihatan kebingungan, “Jangan-jangan aku salah masuk rumah , masak ini rumah kanjeng syech” kata si pemuda mulai cemas. Dalam bayangan si pemuda rumah kanjeng syech seharusnya tidak demikian melainkan sebuah gubuk atau rumah sederhana. Tetapi yang dia temui sangat bertentangan dengan bayangannya. Dia pun jadi ragu-ragu. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ada orang yang mendatangi si pemuda dan bertanya dengan sopan :

“ Salam sejahtera, nak, saya lihat anak kebingungan. Anak siapa, dari mana dan hendak bertemu siapa ?”

“Saya Somad, pak,..ee..saya dari desa ujung kulon. Saya mencari kediaman kanjeng syech. Apa benar ini tempat tinggal kanjeng syech ?” tanya si pemuda.

“Benar, nak, ini kediaman kanjeng syech dan kami adalah murid-murid beliau”

“Kalau saya ingin bertemu kanjeng syech bisa,pak”

“Oooh…bisa, bisa, nak, hanya saja sekarang kanjeng syech sedang mengunjungi sahabat beliau yang sedang sakit. Kalau anak muda sudi kiranya menunggu beliau bersama kami”.

“Terimakasih,pak, “ jawab si pemuda. Kemudian si pemuda bergabung dengan para tamu di ruang tamu. Tidak henti-hentinya matanya mengawasi ruang tamu itu. Ruang tamu kanjeng syech begitu lebar dengan karpet tebal mahal terbentang memenuhi ruangan tersebut. Dinding ruang tamu itu dihiasi dengan tulisan-tulisan kaligrafi indah. Ornamen-ornamen yang terpasang memberi kesan mewah pada ruangan itu. Lampu-lampu hias bergelantungan disana sini. Diatas karpet dihidangkan berbagai macam makanan dan minuman untuk menjamu tamu-tamu yang datang. Semua pemandangan dan keadaan yang ditemui si pemuda dari pertama hingga akhir memberi informasi ke otaknya dan membentuk satu kesimpulan bahwa kanjeng syech kaya raya dan bergelimang dengan kemewahan. Si pemuda merenung. Tidak seperti yang dibayangkanya jika ini benar kediaman kanjeng syech. Mengapa orang yang selama ini terkenal zuhud dan dan kesolehannya ternyata hidup dalam kemewahan dan serba enak?, pikir si pemuda. Ini tidak benar, tidak sesuai dengan ajaran. Tidak tampak konsep zuhud berjalan di tempat ini pikirnya. Wali kadunyan istilahnya, mereka sering mengatakan seperti itu. Maksudnya seorang ulama yang hidup dengan materi duniawi yang melimpah dan menyukai cara hidup seperti itu. Hati pemuda berontak karena tidak sesuai dengan pendiriannya. Dia harus segera pergi agar tidak terjebak dengan keadaan disitu dan tidak terkena v irus cinta dunia, pikirnya. Si pemuda berdiri dan segera berpamitan.

“Tidak menunggu kanjeng syech,mas, sebentar lagi beliau pulang” kata santri menahan si pemuda

“Saya harus kembali sekarang,pak”jawab si pemuda tanpa memberikan jawaban yang jelas. Dia segera berdiri dan keluar dari ruang tamu kanjeng syech. Kali ini dia tidak salah jalan, Dia melewati pintu gerbang depan. Belum jauh dia melangkah terdengar suara gemerincing dari kejauhan. Si pemuda menghentikan langkahnya. Dia sembunyi di balik pohon sambil mengawasi siapa gerangan yang akan lewat. Dadanya berdegup kencang, “Jangan-jangan itu kanjeng syech “ pikirnya. Suara gemerincing semakin dekat dan tampak dari jauh sebuah kereta kencana mendekat. Kereta itu tampak berkilau terkena sinar matahari. Empat ekor kuda berwarna keemasan menarik kereta itu. Luar biasa bagusnya kereta kencana itu dan….oh….itu kanjeng syech….gumam si pemuda. Penampilan beliau yang gagah dan berwibawa. Dari wajah beliau terpancar aura yang menentramkan hati. Ahh….itu hanya tampilan luar, aku sudah tahu siapa kanjeng syech itu sebenarnya, dia hanyalah orang biasa yang senang hidup mewah bergelimang harta. Seharusnya ulama tidaklah demikian. Jika beliau paham ilmu agama mengapa beliau berpenampilan seperti itu ? kata si pemuda menilai kanjeng syech. Dia segera meninggalkan tempat itu sambil sedikit menggerutu. “Wali taek”, katanya.

Sampe di rumah, dia segera menemui kedua orang tuanya. Bapak dan ibunya heran kenapa si pemuda cepat sekali pulang. Belum sempat mereka bertanya si pemuda sudah menerangkan bahwa kanjeng syech yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat dan terkenal itu tidaklah seperti apa yang mereka sangka. Si pemuda kemudian menceritakan perjalananya ke kediaman kanjeng syech dan mengemukakan alasan kenapa dia pulang. Kedua orang tua si pemuda diam tidak memberi komentar apa-apa.

“Terserah padamu saja, semua ini adalah keputusanmu dan pasti ada hikmah dibalik ini semua” kata bapak pemuda itu.

“Ya ,pak, saya mau belajar ditempat lain saja” pemuda memutuskan.


Kejadian yang menimpa Somad sepulang dari kediaman Kanjeng Syech

Hari berganti hari, tidak terasa sudah 1 bulan si pemuda terbaring di tempat tidur. Dia jatuh sakit sejak pulang dari kediaman kanjeng syech. Penyakit aneh yang dideritanya badannya panas 3 hari dan setelah turun panasnya seluruh tubuh tidak bisa digerakkan, lumpuh istilahnya tapi dia sadar dan bisa diajak berbicara. Kedua orang tuanya sangat sedih melihat keadaan putra mereka. Sudah banyak ahli pengobatan yang dimintai tolong menyembuhkan putra mereka tapi belum juga kelihatan hasilnya. Dan sekarang sudah empat bulan si pemuda terbaring dan belum tampak perubahan pada dirinya. Kesedihan bertambah dalam dirasakan oleh kedua orang tuanya tetapi si pemuda masih optimis penyakitnya bisa disembuhkan. “Saya mohon bapak jangan putus asa, mohon dicoba sekali lagi barangkali Tuhan kiranya berkenan menunjukkan jalan kesembuhan”. Setelah berkata demikian bapak si pemuda teringat teman lamanya yang juga ahli pengobatan tetapi jaraknya cukup jauh dari rumah mereka. Si bapak segera bersiap berangkat menemui temannya. Perjalanan dua hari akan dia tempuh demi mencari kesembuhan untuk putranya. Tidak sulit bagi si bapak mencari rumah temannya karena dulu dia sering berkunjung ke rumah sobatnya itu. Setelah bertemu dia menceritakan penyakit anaknya kepada temannya itu. Temannya diam seperti bermeditasi mencari petunjuk. Tiba-tiba :

“ Wah…..ini penyakit langka dan tidak biasa. Barangkali anakmu pernah menyakiti seseorang atau berbuat zholim pada seseorang yang bukan orang biasa.Penyakit ini hanya bisa diobati dengan obat yang sulit didapat dan mahal harganya”.

“Kalau boleh tahu apa obat penyakit anak saya ?”

“Obatnya memakan 10 hati kuda dan kudanya bukan kuda biasa”

“Sepuluh hati kuda ? Kuda apa ?”

“Kuda yang bulu dan buntutnya berwarna emas”

“Matek aku…, dimana saya bisa mendapatkan kuda seperti itu?”

“Itulah sulitnya. Andaipun ada belum tentu yang punya mau menjual kuda itu karena langka. Seumpama dijual tentunya harganya mahal sekali”

Bapak si pemuda terdiam putus asa. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana. Selain sulit mencari obat untuk anaknya, kalaupun ada belum tentu bapak itu sanggup untuk membayar karena tidak mungkin kuda langka seperti itu dijual dengan harga biasa.

“Terimakasih banyak atas bantuanmu. Kami mohon doa semoga kami bisa menemukan obat ini dan anak kami bisa pulih kembali. Jika ada berita penting tolong segera disampaikan kepada saya”.

“Sama-sama, semoga kamu berhasil dan anakmu segera pulih”. Bapak pemuda pamit dan segera pulang. Sampai di rumah si bapak menjelaskan perihal obat anaknya kepada istrinya. Ibu si pemuda menangis mendengar penjelasan itu. Ibu si pemuda juga berpikiran sama dengan bapak Somad , tidak tahu harus berbuat apa untuk bisa menolong anaknya. Dengan berat hati keduanya menemui si pemuda yang terbaring dan menjelaskan kepadanya obat yang bisa menyembuhkanya. Somad tidak bisa berkata sepatah katapun, tampak matanya berkaca-kaca kemudian dia meneteskan air mata. Ada penyesalan dalam batinya. Dia teringat ketika dia mendatangi kediaman kanjeng syech. Dia melihat perjalan itu seperti film yang diputar ulang dan tiba pada saat dia melalui jalan belakang dia tersentak kaget karena dia melihat dalam bayangan itu dia berjalan melalui istal/kandang kuda dan ….yach….tidak salah lagi kuda yang ada di kandang itu bulu dan buntutnya berwarna emas. Kanjeng syech lah yang punya kuda seperti itu. Dia berteriak memanggil kedua orang tuanya dan menceritakan bahwa yang punya kuda berbulu emas ialah sang ulama terkenal yang berjuluk kanjeng syech yang pernah ia datangi rumahnya. Dia memohon kepada bapaknya agar menemui kanjeng syech dan memohon kepada beliau sudi kiranya memberikan hati kuda itu untuk obat anaknya. Tapi sepertinya si bapak sangat keberatan dengan permintaan putranya itu karena untuk bertemu dengan kanjeng syech saja dia sudah segan apalagi meminta hati kuda berbulu emas ? Wow… rasanya seperti memikul gunung dan menyelam ke dasar lautan. Sungguh tidak kuasa untuk menyampaikan permintaan seperti itu.

“Dicoba dulu, pak, ini namanya ikhtiar siapa tahu kanjeng syech berkenan membantu kita. Paling tidak beliau bisa memberi saran dan nasehat” ibunya mengusulkan. Si bapak berpikir pasti ada hubungan antara penyakit anaknya dan sosok kanjeng syech. Tidak mungkin penyakit aneh seperti ini muncul begitu saja.

“Nak, coba kamu ceritakan bagaimana sebenarnya kejadian yang kamu alami ketika kamu berkunjung ke rumah kanjeng syech”. Si pemuda pun menceritakan dari pertama sampai terakhir apa yang dia alami dan temui ketika dia berkunjung ke rumah kanjeng syech dan termasuk persangkaan dia terhadap beliau. Si bapak mendengarkan dengan seksama penuturan si anak. “Inilah hikmah yang sebenarnya. Ya Tuhan , maafkan putraku yang telah menyakiti kekasihMu, yang dia tahu hanyalah sebatas ilmunya saja. Oleh karena itu engkau arahkan hatinya kesana dan engkau ciptakan sakit putra hambaMu yang hina ini untuk Engkau ajarkan kapada dia ilmuMu yang sebenarnya. Semua ini berjalan sesuai dengan ilmu, kehendak dan keputusanMu. Tolonglah aku ,Wahai Sang Maha Pengasih….”demikian doa si bapak dalam hatinya.Setelah hening sebentar si bapak melanjutkan :“Baiklah kalau begitu bapak akan menemui kanjeng syech dan menceritakan perihal sakitmu serta memohon saran kepada beliau”. Besok harinya pagi-pagi benar bapak Somad berangkat menuju kediaman kanjeng syech. Sampai diluar pintu gerbang, bapak si pemuda ditemui oleh salah seorang santri kanjeng syech : “ Salam sejahtera. Silahkan , pak, bapak sudah ditunggu oleh kanjeng syech”. Si bapak terkejut mendengar penuturan santri kanjeng syech itu, berarti beliau sudah mengetahui kedatanganya. Benar saja, begitu si bapak masuk pintu gerbang, tampak kanjeng syech berdiri di depan pintu rumah menunggu dia sambil tersenyum.

“Bagaimana perjalananya, pak? Bapak pasti lelah mari silahkan masuk dan beristirahat sejenak” sambut kanjeng syech dengan ramah. Oh…ini kanjeng syech, orangnya tinggi besar, kulitnya kemerah-merahan, wajah beliau tampan dan berjenggot. Kanjeng syech masuk lagi kedalam. Para pelayan segera menghidangkan makanan dan minuman.

“Mari silahkan , pak “para pelayan mempersilahkan. Benar apa yang dikatakan si Somad, rumah kanjeng syech megah dan indah, beliau memang orang berada. Tidak lama kemudian kanjeng syech muncul kembali dan duduk bersama tamu-tamu yang lain. Bapak si Somad segera menghadap : “ Maap kanjeng syech, kedatangan saya kemari untuk minta saran dan nasehat, apa yang harus saya lakukan untuk mengobati anak saya”

“ Anak bapak sakit ?”

“Benar, kanjeng syech. Anak saya lumpuh”

“Sudah lama sakitnya ?”

“Belum, kanjeng syech, kira-kira empat bulan yang lalu”. Kemudian si bapak menceritakan awal mula penyakit anaknya dan obat yang dia cari yaitu hati kuda berbulu emas.

“Aneh juga sakitnya ya….. Tapi bapak ndak usah kawatir. Kalau obatnya hati kuda berbulu emas kebetulan saya punya kuda jenis seperti itu” kata kanjeng syech dengan tenang. Bapak si pemuda mengucap sukur sambil memegangi wajahnya namun ada satu permasalahan berat, berapa dia harus membayar untuk menebus seekor kuda berbulu emas ? apalagi persyaratannya sepuluh ekor ? bapak si pemuda termenung kembali, wajahnya kelihatan murung. Dia bertanya di dalam hatinya apakah dia sanggup untuk menebus kuda-kuda itu.

“Bapak tidak usah memikirkan uang penebus kuda” kata kanjeng syech. Si bapak teerkejut karena kanjeng syech tahu apa yang dipikirkannya.

“Jika bapak butuh silahkan dimanfaatkan.Kami ikhlas membantu bapak sampai anak bapak sembuh” ujar kanjeng syech menenangkan si bapak. Bapak si Somad menangis tersedu-sedu, dia tidak tahu harus berterimakasih dengan cara apa kepada kanjeng syech yang sangat penolong itu.

“Terimakasih ,kanjeng syech, saya tidak tahu harus bagaimana membalas budi baik kanjeng syech kepada keluarga kami. Hanya doa-doa yang bisa kami panjatkan semoga kanjeng syech dan seluruh warga disini selalu mendapat rahmat dan barokah dari Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”

“Aaa…miii….n” gemuruh suara para santri, para tamu dan jama’ah yang hadir. Ternyata mereka dari tadi mengikuti dengan seksama dialog antara kanjeng syech dan bapak si Somad.

“Ali, temani bapak ini ke kandang. Sembelih satu ekor kuda, ambil hatinya dan serahkan pada bapak ini untuk obat putranya”.

“Baik, kanjeng syech” jawab Ali. Ali adalah salah satu santri senior kanjeng syech yang sudah berpuluh tahun menyantri disitu. Ali segera menggandeng tangan si bapak dan mengajak beliau ke kandang. Sampai di kandang si bapak terkagum-kagum melihat kandang kuda yang bisa dikatakan lebih baik dari rumahnya. Semuanya berisi kuda-kuda pilihan yang bulu dan buntutnya berbulu emas. Ali dan para santri yang lain segera melaksanakan amanat dari kanjeng syekh. Satu kuda disembelih kemudian hatinya diambil dan diserahkan kepada bapak si Somad.

” Terimakasih, nak Ali. Saya merepotkan nak Ali saja”

“Sama-sama, pak. Ini sudah tugas saya. Sebaiknya bapak segera pulang dan mengobati putra bapak. Mereka sudah menunggu. Nanti jika sudah waktunya pengobatan, bapak segera menghadap kanjeng syech dan jangan segan-segan karena kalau bapak segan terus bapak mengurungkan niat berarti bapak terkena cobaan demikian pula kanjeng syech . Semoga bapak bisa memahami ini ” kata Ali ; santri senior kanjeng syech.

“Ya, nak, terimakasih atas nasehatnya”. Si bapak segera pulang. Dia lewat belakang yaitu jalan yang dilalui putranya;Somad. Si bapak menghitung kandang kuda ternyata ada sepuluh kandang kuda berisi semua kecuali satu kandang sebelah paling kanan, kosong, karena hatinya sudah dibawa oleh si bapak. Sampai di rumah ibu si pemuda ternyata sudah menunggu-nunggu kepulangan suaminya.


Pengobatan dengan hati kuda berbulu emas

“Bagaimana, pak, berhasil ? bapak bertemu kanjeng syech ? beliau bilang apa ? “ si ibu mendera si bapak dengan pertanyaan. Bapak tidak menjawab melainkan beliau bersungkur sujud kepada Tuhannya sebagai tanda terimakasih atas petunjuk dan anugrahNya. Kemudian si bapak menceritakan perjalanannya hingga kembali. Ibu si pemuda menangis terharu karena mendapat perlakuan begitu baiknya dari kanjeng syech. Bertambah yakin mereka kalau kanjeng syech bukanlah orang biasa. Tanpa menunda-nunda hati kuda segera dimasak kemudian disuapkan ke putra mereka yang lumpuh. Satu hati kuda dihabiskan selama satu minggu. Setelah seminggu perubahan terjadi pada si pemuda. Dia bisa menggerakkan telapak dan jari kakinya. Tapi hanya itu saja yang bisa dia gerakkan. Dua minggu sudah berlalu, si bapak teringat pesan Ali; santri kanjeng syech agar segera menghadap kanjeng syech jika sudah waktunya. “Sepertinya aku harus menghadap kanjeng syech untuk pengobatan yang kedua” kata si bapak. Pagi-pagi si bapak berangkat dan sampai diluar pintu gerbang dia dihampiri salah seorang santri kanjeng syekh seperti kedatangannya yang pertama. “Mari, pak, bapak sudah ditunggu ole kanjeng syekh”. Benar saja, begitu si bapak masuk pintu gerbang kanjeng syekh sudah berdiri di pintu sambil tersenyum lebar. “Bagaimana perjalananya, pak? Bapak pasti lelah,mari silahkan masuk dan beristirahat sejenak” sambut kanjeng syech dengan ramah. Setelah istirahat kanjeng syech bertanya “ Bagaimana keadaan putranya ?”

“Terimakasih atas kebaikan kanjeng syech, sekarang dia sudah bisa menggerakkan telapak kaki dan jari kakinya” jawab si bapak berbinar-binar.“Syukurlah, semoga terus ada perkembanganya. Ali, setelah cukup beristirahat antar bapak ke kandang dan segera ambilkan hati kuda yang kedua”

“Sendiko dawuh , kanjeng syech”. Setelah cukup beristirahat, Ali menggandeng tangan si bapak dan mengajak beliau ke kandang. Bapak Somad terheran-heran, dia merasa seakan-akan tidak ada perubahan apa-apa pada diri kanjeng syekh dan santri-santri beliau, biasa-biasa saja. Kanjeng syekh sama sekali tidak terlihat seperti orang yang kehilangan harta benda. Ekspresi wajah beliau tetap tenang, datar dan biasa-biasa saja. Luar biasa….kuda semahal ini seperti tidak berharga pada diri beliau dan kehilangannya pun sama sekali tidak berpengaruh apa-apa pada diri kanjeng syekh.

“Ini ,pak, hati kudanya, segera bapak bawa pulang karena keluarga bapak sudah menunggu di rumah. Jika sudah waktunya segera bapak kesini untuk pengobatan berikutnya. Bapak jangan segan atau sungkan. Jika bapak segan kemudian mengurungkan niat bapak, itu tandanya bapak kena coba dan kanjeng syech pun demikian”

“Baiklah ,nak, terimakasih” jawab si bapak sambil mengingat-ingat nasehat itu. Si bapak merasa bahwa nasehat itu persis seperti nasehat Ali yang pertama. Dia lewat jalan belakang lagi. Sekarang dia melihat sudah dua istal/kandang kuda yang kosong. Si bapak menghela napas pertanda berat pada batinnya. Sesampai di rumah hati yang kedua segera diberikan. Selang satu minggu tampak si pemuda menaikkan betisnya sedikit demi sedikit. Itu perubahan kedua yang dia dapat. Tampak wajah si pemuda berseri-seri dan ibunya tidak henti-henti berucap sukur. Kini sudah tiga minggu berlalu sepertinya sudah saatnya si bapak untuk kembali lagi mengambil hati yang ketiga. Pagi-pagi beliau berangkat dan sampai diluar pintu gerbang, seperti biasa seorang santri menghampiri beliau: “Mari, pak, silahkan. Kanjeng syekh sudah menunggu bapak” . Benar saja, seperti biasa kanjeng syekh sudah menunggu didepan pintu sambil tersenyum lebar. Si bapak segera mencium tangan kanjeng syech ketika bersalaman.

“Bagaimana, pak, perjalanannya ? Bapak pasti lelah. Silahkan istirahat dulu”.

“Terimakasih kanjeng syekh”

“Bagaimana kabar putranya, sudah ada kemajuan ?”

“Berkat doa dan pertolongan kanjeng syekh anak saya sudah bisa menggerakkan betisnya”

“Syukurlah kalau begitu. Ali….setelah cukup istirahatnya segera ambilkan hati kuda yang ketiga”

“Sendiko dawuh, kanjeng syech”. Kanjeng syech masuk kedalam. Setelah beberapa saat ,Ali menggandeng tangan bapak si Somad dan mengajak beliau ke kandang. Hati ketiga segera diserahkan kepada bapak. “Ini hati yang ketiga,pak, mohon segera dibawa pulang untuk diberikan pada putra bapak karena mereka sudah menunggu bapak. Dan jika sudah waktunya, bapak segera kembali kesini untuk menerima obat yang ke empat. Bapak tidak boleh segan atau sungkan. Jika bapak segan kemudian bapak mengurungkan niat bapak berarti bapak terkena cobaan dan kanjeng syech pun demikian. Semoga selamat sampai di rumah” pesan Ali; santri senior kanjeng syekh.

“Baiklah,nak, terimakasih”. Si bapak segera pulang lewat pintu belakang. Sekarang tiga kandang yang kosong. Bapak Somad menghela napas. Dia berpikir bahwa Ali selalu mengingatkan dia ketika pulang dengan nasehat yang sama. Pasti ada sesuatu dalam ucapan Ali dan tidak mungkin Ali bicara sembarangan kata bapak dalam hatinya. Sampai di rumah hati ketiga segera diberikan. Pada minggu berikutnya, Somad sudah bisa menggerakkan kakinya keseluruhan. Tapi masih belum bisa menggerakkan badannya bagian atas. Demikianlah seterusnya yang dilakukan si bapak untuk putranya. Hati keempat Somad bisa menggerakkan pinggulnya. Hati kelima dia bisa menggerakkan badannya bagian atas. Hati keenam untuk lengan bagian atas. Hati ketujuh untuk lengan bagian bawah. Hati kedelapan untuk telapak tangan dan jari-jarinya. Hati kesembilan Somad bisa menggerakkan bahunya. Kini Somad sudah mampu menggerakkan seluruh anggota badannya hanya tinggal leher yang tidak bisa dia tegakkan. Obat terakhir barangkali yang bisa mengatasi ini kata hati Somad.

“Bapak berangkat besok?”

“Ya, besok ini bapak berangkat. Semoga tidak ada halangan apa-apa karena ini obat terakhir”.

Besok harinya si bapak berangkat. Perjalanan terakhir ini terasa berat sekali, tidak seperti biasanya. Perut si bapak terus terasa lapar dan tenggorokan selalu haus minta minum. Badan lemas dan kaki pegal-pegal. Bertemu dengan orang aneh-aneh dan mendapati pemandangan yang kurang nyaman.Berkali-kali si bapak ingin mengurungkan niatnya dan kembali ke rumah, tapi pada saat itu juga dia teringat pesan Ali yang selalu diulang-ulang ketika dia hendak pulang. Akhirnya sampai juga si bapak di samping pintu gerbang dan seperti biasa seorang santri menyamperi si bapak: “Mari silahkahkan ,pak, kanjeng syech sudah lama menunggu bapak” . Sampai depan pintu kanjeng syech menyambut bapak seperti biasa . Si bapak melirik ke dalam ruang tamu ternyata tamu yang hadir banyak sekali namun kanjeng syech masih menyempatkan diri untuk menyambut si bapak.’ Kedatanganku ini sebenarnya merepotkan kanjeng syech tapi mengapa kanjeng syech mau berkorban demikian besar untuk aku dan putraku padahal kami ini hanya orang miskin dan tidak punya apa-apa. Apa sebenarnya rahasia dibalik semua ini dan apa maksud kanjeng syech sendiri ?’ kata si bapak dalam hati.

“Bagaimana, pak, perjalanannya ? bapak pasti lelah, mari silahkan istirahat sejenak. Oh..iya, bagaimana keadaan putra bapak ? sudah banyak perkembangannya ?”. Bapak tidak menjawab justru malah menangis tersedu-sedu. “Maapkan kami, kanjeng syekh, kami telah banyak sekali merepotkan kanjeng syekh. Bagaimana kami harus membalasnya sedangkan kami tidak punya apa-apa selain nyawa yang ada di badan kami” kata si bapak sambil tersedu-sedu. “Sudah sembilan kuda yang dikorbankan sekarang akan ditambah satu lagi jadi sepuluh. Ya Tuhan……bagaimana kami ini , kanjeng syech, bagaimana kami ini…?” kata si bapak mengiba tidak berdaya.

Kanjeng syech tetap duduk tegak. Tidak tampak perubahan pada wajah beliau selain keteduhan, bagai pohon yang rindang tempat orang berlindung dari sengatan panasnya matahari. Bibir beliau tersungging senyuman dan senyum itu jika dilihat orang yang keras hatinya seperti apapun akan tunduk khusyuk.

“Tidak…tidak ada yang direpotkan. Kami dan para santri semua rela menolong putra bapak. Harapan kami nantinya putra bapak bisa sembuh kelak menjadi anak yang soleh, itu saja”

“Terikasih atas pertolongan kanjeng syech. Putra saya sekarang sudah semakin membaik. Tinggal leher yang belum bisa dia gerakkan” jawab si bapak terbata-bata sambil menyeka air mata.

“Syukurlah kalau begitu. Semoga dengan hati yang kesepuluh ini putra bapak pulih seperti sedia kala. Ali, jika sudah cukup istirahatnya segera antar bapak ke kandang dan ambil hati kuda yang kesepuluh”

“ Sendiko dawuh, kanjeng syech”. Setelah dirasa cukup Ali segera menggandeng tangan si bapak dan mengantarnya ke kandang. Kuda kesepuluh pun disembelih kemudian hatinya dan diserahkan ke bapak Somad.

“Ini hati kesepuluh, pak, segera bapak bawa pulang dan berikan ke putra bapak semoga dia segera pulih seperti sediakala. Dan nantinya jika masih ada hal-hal yang perlu bapak sampaikan kepada kanjeng syech segera bapak kemari dan jangan segan atau sungkan. Jika bapak segan kemudian mengurungkan niat bapak , berarti bapak kena coba dan begitu pula kanjeng syekh”

“Baik, nak, akan selalu saya ingat pesan anak”. Bapak itu segera pulang lewat jalan biasanya, sekarang dia melihat sepuluh kandang kuda yang kosong. Si bapak menangis melihat pemandangan itu. Ini semua karena aku jerit hatinya. Ibu si pemuda sudah menunggu di depan pintu. “Kok lama sekali pulangnya, pak, nggak kayak biasanya ? ada apa , pak ? kanjeng syech bilang apa ?” tanya ibu cemas. Si bapak tidak menjawab, dia langsung bersungkur sujud sebagai tanda syukur karena lulus dari satu perjalanan berat. Pulang pergi yang biasanya dia tempuh selama 5 hari kini harus dilaluinya dua kali lipat alias sepuluh hari perjalanan. Kalau bukan karena pertolongan Tuhan, perjalanan ini tidak mungkin berhasil ia lalui.

“Kanjeng syech menyampaikan salam kepada kalian semua dan ini hati kuda yang kesepuluh segera berikan pada Somad” jawab bapak singkat. Hati itu segera dimasak kemudian diberikan pada Somad selama satu minggu.

“Wahai Tuhan, apa sebenarnya yang akan Engkau berikan pada Somad sehingga Engkau beri cobaan seberat ini pada dia. Wahai Tuhan , Engkau Maha tahu ,Maha Kuasa, aku pasrahkan urusan ini kepadaMu sebab Engkaulah Sang Pencipta dan dalam genggaman tanganMu langit bumi ini berada” jerit hati si bapak dalam doanya. Tiba-tiba…

“Kreek…” si bapak terkejut mendengar suara itu. Tengah malam begini siapa yang membuka pintu. Si bapak bangkit dan menuju arah suara. “Kricik…kricik….kricik…” sekarang berganti suara air gemericik. Perlahan-lahan si bapak mengintip……..ternyata si Somad; putranya; sedang bersih-bersih mengambil air wudlu. Somad sudah bisa berjalan sekarang karena dia sudah bisa menggerakkan dan menegakkan lehernya. Pada pagi harinya Somad keluar menghirup udara segar. Tetangga kanan kiri menyapa Somad dan menanyakan kesehatannya. Somad sangat bersukur dia bisa sembuh dari lumpuhnya. Hampir satu tahun dia terbaring. Setelah sarapan pagi dia menemui bapak dan ibunya.

“Bapak… Ibu…, Somad sekarang sudah sembuh. Apa yang akan kita lakukan untuk membalas kebaikan kanjeng syech ?”

“Sebaiknya kita semua sowan menghadap kanjeng syekh. Disanalah nanti kita tahu apa yang akan kita lakukan untuk membalas budi kanjeng syech. Sekarang kita berkemas-kemas besok kita berangkat menuju kediaman kanjeng syekh”.

Esok harinya mereka berangkat . Selama dalam perjalan Somad teringat bagaimana dia setahun yang lalu melalui jalan ini menuju kediaman kanjeng syech. Dia menyadari bahwa persangkaannya selama ini kepada kanjeng syeh tidak benar hanya saja dia masih bingung dan belum mengerti kenapa kanjeng syech hidup dengan kemewahan. Dia berharap semoga nantinya dia mendapat penjelasan dari apa yang ia alami selama ini. Sampai di depan pintu gerbang seorang santri menghampiri mereka : “ Salam sejahtera, mari silahkan , kanjeng syech sudah menunggu bapak sekalian”. Si bapak tidak heran dengan sambutan ini karena sudah sepuluh kali dia mengalaminya tetapi lain halnya dengan Somad dan ibunya. Mereka terheran-heran seperti bapak Somad pada awalnya. Benar saja begitu mereka masuk dan mendekat, tampak kanjeng syech berdiri di depan pintu menyambut mereka. “Salam sejahtera semuanya, mari silahkan masuk dan beristirahat” sapa kanjeng syech. Ibu si pemuda terkagum-kagum melihat keelokan kediaman kanjeng syech. Ruang tamu itu begitu indah dengan taman di depan rumah nan asri. “Salam sejahtera, kanjeng syech, puji sukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa putra saya sudah sembuh dari lumpuhnya. Atas bantuan kanjeng syech kami sekeluarga mengucapkan banyak terimakasih dan kami tidak tahu dengan apa kami harus membalas kebaikan kanjeng syech yang tidak terhingga ini”

“Wah…bapak ini…. jangan melebih-lebihkan sesuatu yang sudah jadi kewajiban. Hanya itu yang bisa saya lakukan dan sumbangkan kepada bapak. Semua itu bukan milik saya, ini hanyalah titipan Tuhan yang nantinya akan kembali kepadaNya. Oh…ini putra bapak…siapa namanya ?”

“Saya Somad, kanjeng syech”, jawab Somad sambil menunduk. Dia tidak berani memandang kanjeng syech karena rasa malu pada dirinya. Somad merasa bersalah karena dia sudah berprasangka buruk pada kanjeng syech. Hanya saja sampai sekarang dia belum mengerti, belum paham betul bagaimana yang sebenarnya.

“Berapa umurmu ?”

“Saya 19 tahun, kanjeng syech”.

“Apa pekerjaanmu ?”

“Saya belum bekerja, kanjeng syech, mohon petunjuknya”

“Sudilah kiranya kanjeng syech membimbing putra saya” bapak si pemuda menyela.

“Kamu mau jadi santri disini ?” kanjeng syech menawarkan.

“Mau, kanjeng syech, jika kanjeng syech berkenan” jawab si pemuda.

“Jika kamu aku terima jadi santri, aku tugaskan memelihara kuda kamu mau ?”

“Mau, kanjeng syech, jika itu membuat ridlo hati kanjeng syech”, jawab si pemuda mantap. Si bapak heran, kuda yang mana ? bukankah kuda kanjeng syech sudah disembelih semuanya karena hatinya diambil untuk obat anaknya ?

“Bagaimana, bu ?” tanya kanjeng syech kepada ibu si Somad.

“Saya rela, kanjeng syech, semoga nantinya putra saya jadi anak yang soleh” jawab ibu.

“Baiklah kalau begitu mulai sekarang kamu nyantri disini dan kamu aku tugaskan memelihara kuda bersama santri-santri yang lain”

“Terimakasih ,kanjeng syech” jawab si pemuda kegirangan. Hatinya senang sekali karena harapannya menjadi seorang santri kini terwujud. Dia berjanji akan melayani kanjeng syech dengan sebaik-baiknya dan dia yakin pertanyaan yang selama ini mengendap dalam dirinya akan segera terjawab.

“Bapak dan ibu menginaplah disini barang satu atau dua malam baru pulang”

“Terimakasih kanjeng syech, semoga kebaikan kanjeng syech mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Pengasih”

“Aaa…miii….n” gemuruh suara para santri, para tamu dan jama’ah yang hadir mengaminkan doa si bapak.

“Ali, antar Somad ke kamar santri untuk istirahat. Bapak dan ibu silahkan istirahat, anggap ini rumah sendiri dan jangan sungkan-sungkan. Semoga Alloh merahmati kita semuanya”.

“Aaa…miii….n” suara membahana dari para santri, tamu dan jama’ah yang hadir mengaminkan doa kanjeng syech.

Esok harinya bapak dan ibu Somad berpamitan.

“Kami titip putra kami, kanjeng syech, semoga berguna dan bisa berbakti kepada kanjeng syech dengan sebaik-baiknya dan mendapat ilmu yang manfaat”.

“Amin, amin. Jangan lupa doakan si Somad nantinya kerasan disini. Bapak dan ibu hati-hati di jalan, semoga selamat sampai rumah. Jika bapak dan ibu kangen putranya silahkan datang kemari untuk menjenguknya”

“Kanjeng syech, bolehkah kami menemui putra kami sebelum kami pulang ?”

“Oh..boleh,boleh, silahkan. Ali, antar bapak dan ibu ke kamar Somad”. Setelah keduanya bersalaman dengan kanjeng syech, Ali segera mengantar mereka menemui Somad. Ternyata Somad tidak berada di kamar.“Somad di kandang” kata salah satu santri yang ada disitu. Mereka pun segera menuju kandang kuda. Tampak Somad sedang memandikan kuda. Si bapak tercengang karena dia melihat semua kandang sudah berisi kuda lagi, kuda yang sama dengan yang kemarin. Bulunya berwarna keemasan begitu juga buntutnya. Tidak terasa mulutnya komat-kamit : “Maha suci Tuhan, maha suci Tuhan” akalnya sudah tidak lagi mampu untuk memikirkan semua ini. Begitu pula dengan si ibu dia terheran-heran melihat bagusnya kandang dan isinya. Belum pernah dia melihat kuda sebagus itu. Apakah kuda seperti ini yang dikorbankan kanjeng syech untuk Somad ? pikirnya. Jika iya, alangkah besar pengorbanan syech untuk putranya itu.

“Pak…,Bu…” sapa Somad, “sudah mau pulang ?”

“E..e..,i..i..ya, iya , nak. Bapak dan ibu mau pulang. Kamu baik-baik ya disini. Layani kanjeng syekh dengan sebaik-baiknya. Bapak dan ibu yakin kamu akan mendapatkan ilmu yang manfaat disini”.

“Iya, pak. Doakan Somad ya, Bu, Somad bisa jadi santri”

“Iya, nak, pasti ibu doakan. Jaga kesehatanmu” pesan ibu.

Somad mengantar kedua orang tuanya ke pintu gerbang dengan menenteng beberapa bungkusan oleh-oleh yang dititipkan kanjeng syech untuk orang tuanya.

Malam harinya santri berkumpul untuk mendengarkan nasehat dan bimbingan dari kanjeng syech. Pada akhir wejangannya kanjeng syech berkata :

“Tidaklah bijaksana jika menilai hamba Tuhan dari lahirnya karena tampilan lahir hanyalah sebatas penglihatan mata luar saja. Ingatlah firman Tuhan bahwa ’ Dia tidak melihat kepada jasadmu juga tidak melihat kepada bentukmu tetapi Tuhan melihat hatimu’. Sesuaikanlah penglihatan kamu sekalian dengan penglihatan Dzat yang tidak pernah salah yaitu penglihatan Tuhan, dengan demikian kamu tidak akan salah dalam melihat dan menilai seseorang. Tuhan tidak melihat apa yang kamu punya karena semua ini milikNya tetapi Tuhan melihat apa yang kamu beri sebab dengan memberi hatimu merasa tidak memiliki. Sebutan untuk orang kaya dan berada bukan dinilai dari apa yang dia punya melainkan dari apa yang sudah ia beri untuk ditukar dengan Ridlo Tuhannya. Semoga kamu sekalian ; para santri; bisa memahami ini”.Somad mendengarkan dengan seksama, sekarang sudah terjawab apa yang selama ini menjadi ganjalan hatinya. Dia sudah makan sepuluh hati kuda berbulu emas ini sebagai symbol bahwa dia harus merubah hatinya menjadi hati yang mulia seperti emas. Dia bertekad akan belajar sungguh-sungguh, bekerja sungguh-sungguh agar nantinya dia bisa jadi orang kaya berhati emas seperti Kanjeng Syech.

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda Di Mustika Kembar

Judul Artikel : Kanjeng Syech Abdul Qodir Jailani dan Kuda Berbulu Emas
Diterbitkan Oleh : Mustika Kembar
Artikel ini di patenkan pada myfreecopyright, apabila mengutip tanpa memberikan link balik pada artikel ini,akan di proses secara DMCA Takedown yang tentunya akan berakibat tidak baik pada blog saudara.
Anda dipersilakan copy paste artikel dengan mencantumkan url sumber di bawah ini :

Subscribe via RSS Feed by Mustika Kembar Indonesia
Share this article :
 
*Layanan ini disediakan oleh Mustika Kembar Tbk. | Halaman Awal ini juga disediakan oleh Mustika Kembar Tbk. | Semua layanan lain yang tidak memiliki tanda “*” akan menuju ke situs web pihak ketiga, yang kontennya mungkin tidak sesuai dengan undang-undang di wilayah Anda. Anda, bukan Mustika Kembar Tbk, bertanggung jawab penuh atas akses ke dan penggunaan situs web pihak ketiga.
Hak Cipta © 2014 Mustika Kembar Tbk (Co. Reg. BlogID. 7275316873062274503). Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.
Kampus Wong Sinting | Mustika Kembar | Globalw4r3 | Google